Ratchanok Intanon, Nozomi Okuhara dan Carolina Marin |
Pagi ini baru bangun tidur. Seperti biasa yang
dilakukan adalah mengecek-ngecek twitter. Oke, twitter dipenuhi dengan update
status dari salah seorang pemain India yang tidak perlu saya sebut namanya yang
kalau kalah selalu update status twitter dengan hashtag #Comebackstronger. Ada
pula juga re-tweetan dari seorang Ratchanok Intanon. Iya, Ratchanok Intanon,
itu loh tunggal putri Thailand yang baru saja menjadi juara di ajang bulutangkis
Yonex Sunrise India Open Super Series 2015, Celcom Axiata Malaysia Open Super
Series Premiere 2016 dan Singapore Open Super Series 2016.
Seketika saya teringat bahwa seorang Ratchanok
Intanon baru berusia 21 tahun. Masih muda ya. Perjalanan panjang prestasinya
masih akan banyak sekali. Juara dunia junior tahun 2009-2010 plus juara dunia
tahun 2013 ini masih punya beberapa tahun kedepan untuk melengkapi piala-piala,
piring-piring, gelar-gelar dan medali-medali di etalase rumahnya. Emang gilak
nih si Ratchanok Intanon. Makan apa sih dia, berapa sih matanya, otaknya ada
dimana sih, kakinya ada berapa sih dia.
Saya kemudian jadi teringat beberapa tunggal putri
dunia lainnya. Mari menyapa Carolina Marin atau mungkin Nozomi Okuhara. Kedua
pebulutangkis tunggal putri ini tidak kalah luar biasanya dengan Ratchanok
Intanon. Keduanya sama-sama dari negara yang belum pernah sama sekali mencicipi
gelar di ajang Piala sudirman, Piala Uber dan piala apalah-apalah lainnya kalau
ada.
Namun praktis tiga tunggal putri inilah yang
sekarang saat ini menjadi pembicaraan di kalangan pencinta bulutangkis.
Performa ketiganya di dua tahun terakhir seperti telah menjadi sebuah petaka
bagi tunggal-tunggal putri China. Nama-nama seperti Li Xuerui, Wang Shixian dan
Wang Yihan yang dulu begitu perkasa seakan akan mulai hilang dari orbit dan
sudah bukan sesuatu yang wajib lagi melihat mereka di televisi. Lalu makan apa
sih Intanon, Marin, dan Okuhara, kok mereka bisa begitu jago?. Otak mereka
dimana sih?. Kaki mereka ada berapa sih?. Lupakan…!!!
Apa yang sih yang mereka lakukan hingga ketiganya
saat ini menjadi pemimpin besar di nomer tunggal putri?. Inilah yang harus
menjadi pelajaran bagi tunggal putri Indonesia jika ingin bisa menyamai apa
yang telah mereka lakukan.
Belajarlah dari Carolina Marin, Nozomi Okuhara, dan Ratchanok Intanon tentang Semangat, Percaya Diri dan Kerja Keras
Persamaan ketiganya adalah mereka lahir di negara
dimana olahraga bulutangkis bukan merupakan sebuah olahraga pilihan alias
olahraga kelas dua. Jepang dan Thailand bolehlah di sebut sebagai negara yang
tahu dengan bulutangkis. Namun Spanyol, hellllow….bulutangkis baru punya nama
setelah olahraga ini diperkenalkan di Olimpiade Barcelona 1992 saat Alan dan
Susi merebut emas, puncaknya adalah saat Pablo Abian mewakili Spanyol di
Olimpiade London 2012. Butuh waktu buat Spanyol untuk bisa menelurkan pemain.
Karen aapa?. Sekarang tanya, berapa sih hadiah dari turnamen bulutangkis paling
tinggi. Paling banter jika menang di ajang Super Series Finals dapat 75.000
USD.
Coba bandingkan dengan gaji pesepakbola yang
setiap minggu bisa milyaran. Atau coba pikir sekali main berapa orang sih dalam
satu team yang bisa main. Di
sepakbola bisa main sampe 11 orang plus cadangan. Di bulutangkis main maksimal
dua. Kalau ada indikasi cedera apakah bisa digantikan ?. Tapi di Thailand
dimana bulutangkis bukan sebuah olahraga yang terkenal, di Spanyol dimana tenis
dan sepak bola adalah pilihan dan dewa serta di Jepang dimana Sepakbola adalah
yang utama ketiganya bisa menunjukkan kepada dunia bahwa di tengah minoritas,
keduanya mampu membuat nama mereka di kenal dan disegani.
Inilah kemudian yang mesti di pelajari para
pebulutangkis Indonesia. Kita boleh berbangga karena Piala Thomas dan Uber
sudah pernah kita angkat, kita boleh berbangga karena kita sudah pernah merebut
Piala Sudirman. Tapi itu kan beberapa tahun yang lalu (so last last
year-lah). Sampai sekarang Piala-Piala itu seperti hanya bayang bayang yang tak
mau jadi kenyataan. Bukan tidak mungkin negara negara yang tahun tahun lalu tak
punya sejarah justru akan mengukir sejarah menggantikan negeri ini di kancah
percaturan bulutangkis dunia.
Bisakah kita seperti mereka?. Jelas bisa. Siapa
bilang kita bisa. Sekarang ini hanya tinggal bagaimana kita menumbuhkan ras
percaya diri bahwa kita bisa. Sama-sama makan, sama punya kaki dua, sama sama
otak di atas. Kita tidka perlu membuat alasan postur tubuh yang tidak
mendukung, pusat latihan yang tidak memadai, alasan inilah, itulah dan
sebagainya.
Kalau mau beralasan ini dan itu coba kita lihat
Carolina Marin, Nozomi Okuhara, dan Ratchanok Intanon. Postur mereka
biasa-biasa saja. Tidak ada yang semenjulang Sung Ji Hyun atau Sun Yu. Tapi
justru mereka bisa mengalahkan pemain-pemain jangkung. Karena postur bukanlah
alasan?. Coba liat saat Ayumi Mine yang tinggi tak seberapa bisa mengalahkan
Sun Yu. Coba liat pemain-pemain Jepang dengan postur pendek saja mereka bisa
menghadang pemain-pemain kelas dunia. Karena kekurangan tidak menjadikan mereka
berputus asa. Perjuangan mereka keras dan tidak kenal menyerah dan itu yang
mungkin tidak dipunyai sebagian pemain Indonesia ”SORRY”
Setiap kalah
beberapa bilang ”I will come back stronger”, iya sih come back stronger. Kalau
setiap kalah come back stronger terus menangnya kapan. Di usia semuda Marin,
Intanon dan Okuhara mereka sudah menunjukkan prestasi. Zaman dahulu orang
bilang usia emas itu adalah saat berusia 24 tahun ke atas. Tapi jaman sudah
berubah bro dan sis, sekarang saja umur 19 tahun sudah bisa meraih gelar Super
Series. Kita kita saja yang mesti terjebak dengan kata “peram”, “masih ada
waktu”, “nanti nanti saja”, “I’ll come back stronger”. Saat pemain-pemain muda
lawan sudah sampai ke bulan dengan gelar-gelar Super Series kita masih berkutat
dengan “penguatan otot paha”,”pematangan fokus”,”perubahan mental”dan
sebagainya.
Hitung sudah
pemain-pemain dari pesaing pesaing kita yang merupakan pemain muda namun sudah
bisa mengantongi berbagai gelar. Mau disebutkan namanya coba deh tengok Saena
Kawakami, Chen Qing Chen, Zheng Siwei, Yoo Jung Chae, Akane Yamaguchi dsb.
Sekarang coba lihat pemain-pemain kita yang sudah masuk usia emas namun hanya
berkutat dengan babak 32 besar dan paling banter 16 besar dan masih aja
berkompetisi di ajang International Challenge, BANYAK kok.
Jadi atlet
bukan hal mudah, gua juga gak mau jadi atlet. Mereka luar biasa membuat keputusan menjadi atlet. Tapi saat mereka
mengambil keputusan itu mereka harus sadar bahwa mereka menjadi pusat perhatian
apalagi setelah menjadi atlet pelatnas di negara yang memang punya sejarah
panjang tentang bulutangkis. Atlet saat ini seperti anggota DPR dan artis yang
jadi pusat perhatian. Apalagi menjadi atlet pelatnas dimana mereka di sokong
oleh uang negara. Sudah sepantasnya mereka berprestasi dan tidak takut menerima masukkan dan
menerima cibiran jika tak berprestasi.
Bukan atlet kita yang lemah tapi atlet negara lain
memang sudah terlanjur sangat luat. Carolina Marin menghabiskan latihan dari
Senin sampai Sabtu dan baru beristirahat di hari minggu bahkan kadang ia harus
menambah jadwal latihan sendiri karena tak ada teman sparring partner yang
mumpuni untuk menambah skillnya sehingga ia beberapa kali harus latihan di
Indonesia, Thailand dan beberapa negara lain. Pun dengan Ratchanok Intanon dan
Nozomi OKuhara yang punya jadwal latihan yang padat untuk menambah skill
mereka.
Intanon, Okuhara dan Marin pun manusia biasa. Apakah
mereka main media sosial?. O ya jelas, ketiga tunggal putri ini punya twitter,
Okuhara jarang update status, Marin pun juga, Ratchanok Intanon yang paling
sering mengupdate status apalagi ketika sekarang ia berpacaran dengan Pannawit
Thongnuam, frekuensi update status di twitter dan facebook makin sering. Tapi
tetap, Intanon tak lupa prestasinya. Hasilnya tiga gelar langsung di bawa
pulang.
Apakah ketiganya tidak pernah cedera?. Marin,
Intanon dan Okuhara semuanya pernah cedera. Okuhara bahkan saya lihat langsung
cedera saat mengalami cedera parah di ajang Malaysia Open Super Series 2013.
Saat itu kami nonton langsung di Stadium Putra dimana ia cedera saat menghadapi
Saina Nehwal. Beristirahat lama, pebulutangkis mungil ini tak pernah menyerah
dan kembali di tahun 2014 dimana namanya mulai diperhitungkan. Marin pun jelang
BWF World Badminton Championships 2015 di Jakarta hampir batal tampil karena
habis mengalami operasi. Tapi tekadnya kuat mempertahankan gelar membuatnya
tetap tampil dan hasilnya ia menjadi juara dunia kedua kalinya dalam dua tahun
beruntun.
Bagaimana dengan Intanon?. Masih ingat saat ia
harus meraung raung di Istora saat berhadapan dengan Lindaweni Fanetri. Sempat
beristirahat cukup lama, Intanon kembali lebih kuat. Badannya dulu yang
terlihat ringkih sekarang lebih kuat, skillnya makin mumpuni. Buktinya dengan
tiga gelar di tiga minggu beruntun.
Apa yang kita pelajari?. Kita belajar bahwa atlet
juga manusia, perlu main twitter, perlu pacaran, perlu jalan-jalan, perlu ini
dan itu. Silahkan dan monggo. Tak ada yang melarang, manusiawi sekali. Jadi kalau
ada pencinta bulutangkis yang melarang atlet bermain media sosial menurut
pribadi adalah salah. Tapi kalau bermain media sosial terus tanpa punya
prestasi itu yang membuat miris dan jangan salah kemudian jika di bully.
Apakah pebulutangkis tidak boleh kalah?. Boleh,
siapa yang bilang pebulutangkis gak boleh kalah. Sudah jadi siklus alam bahwa
saat bermain itu kadang ada menang kadang kalah. Lee Chong Wei dan Lin Dan saja yang super kuat
bisa juga kalah. Tapi jika kalah bertanding terus bahkan itu di babak 32 besar
dari satu turnamen ke turnamen lain dan hanya bilang “ i will come back
stronger” dan ternyata ya gitu-gitu saja, bagaimana kita bisa bertanggung jawab
pada apa yang kita kerjakan dan kemudian malah marah saat di cibir oleh
pencinta bulutangkis.
Sekarang mari kita bertanya?. Adakah yang mencibir
Milicent Wiranto yang kalah di terus di babak 32 besar sewaktu bertarung di
sekitar tahun 2013 dan 2014?. Tak ada, Milicent tampil dengan uangnya sendiri, ia berangkat sendiri. Dan ia
mengurus semua dengan sendirinya.
Adakah yang mencibir pada Sony Dwi Kuncoro setelah
ia keluar dari pelatnas?. Tak ada, bahkan sekarang orang bangga memiliki dia
karena dengan segala keterbatasan tanpa sparring partner, harus mengurus semua
turnamen sendiri ia mampu berprestasi. Prestasi yang ia telurkan lebih baik
dari atlet-atlet penghuni tetap pelatnas. “Misalnya”
Jadi wajarlah ketika mereka mereka yang berada di
pelatnas dengan segala ke-eksklusifannya selalu mendapat cibiran ketika tak
berprestasi karena mereka menggunakan fasilitas dan disana semuanya ada.
Seharusnya pula ketika mereka berprestasi dengan baik kita tak perlu dikemudian
hari membaca status status galau menjelang promosi dan degradasi di bulan Desember.
Perlulah kita belajar dari pemain-pemain lain yang
punya determinasi tinggi. Mereka mungkin datang dari negara-negara tak popular di
bulutangkis seperti kita tapi justru itulah mereka berjuang keras dan tak
pantang menyerah dengan segala keterbatasan dan bahkan bisa mengalahkan
pemain-pemain yang kental budaya bulutangkisnya.
Tak perlu marah ketika di cibir dan membalas
mencibir dengan “emang situ bisa bermain bulutangkis?.”. Itu tidak keren
menurut kami. Kalau semua orang bisa bermain bulutangkis nanti yang mau jadi
wasit siapa?. Siapa yang mau jual sayur, dsb. Menerima kritikan lebih baik dan
menjadikan ini sebagai sebuah pelecut untuk berprestasi. Yakinlah, orang orang
berprestasi namanya terukir di tinta emas dan tentunya akan terus diingat.
Kita tidak perlu malu belajar dari Intanon, Marin
dan Okuhara jika memang sekarang kita sedang turun prestasinya. Suatu saat kita
yakin dan percaya kita akan lebih baik lagi di nomer-nomer yang sekarang kita
memang sedang turun karena kita ”In Do Ne Sah…Prokkkk…Prokk”
Berkaca Dari Intanon, Marin, dan Okuhara
Reviewed by Unknown
on
17.39.00
Rating:
Tidak ada komentar: